Seberkas Cerita Dari Kelimutu . . .
Sebuah pagi tentang sampah di Kelimutu
Oleh : Merlyn Sambuaga
Markus.
Begitu lelaki gagah setengah baya itu menyebut namanya saat pertama kami
bertemu dua tahun lalu. Dan ketika kembali lagi ke Kelimutu, Bapa ini
masih mengingat saya “Nona yang beli kain saya waktu itu di puncak”
Jelasnya. Kami pun sedikit ber-reuni, saya menyakan beberapa bapa-bapa
lainnya sesama pemandu (dan penjual makanan serta tenun ikat di puncak
Kelimutu). “Semua baik, hanya Bapa Yohanes saja yang sakit. Sudah tidak
bisa mendaki lagi”. Ah..
Padahal saat kembali ke tempat ini, Pak Yohanes
adalah salah satu pemandu yang saya ingin jumpai. Keramahannya masih
terpatri dalam ingatan saya. Sayapun menyampaikan salam untuk diberikan
pada bapa tua itu.
Pagi itu
sepanjang perjalanan menuju puncak Pak Markus berjalan bersama saya. Ada
yang berbeda yang saya lihat dari terakhir saya mengunjungi Danau Tiga
Warna ini. Penjaja makanan yang biasanya membuka “stand” di beberapa
titik tidak ada. Sampah-sampah pun sangat jauh berkurang. Hutan Kelimutu
tampak tersenyum pagi itu. Udara segar yang dihembuskan pohon-pohon
cemara di sepanjang lintasan seakan ingin ikut bertutur tentang
perubahan ini. “Su tida ada yang jualan di pos ini lagi ka Bapa?” “Suda,
suda tak ada. Saya larang semua. Di puncak juga suda tidak ada”. Oh
saya senang sekali. Ini sebuah tindakan yang menurut saya patut diacungi
jempol. Karena menurut saya, masyarakat kita masih belum bisa diajak
bertoleransi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Dan dengan
berjualan ditempat-tempat seperti ini, otomatis akan ada sampah
berkelana di sekitar kawasan konservasi ini.
“Mengapa
Bapa larang berjualan?” Pertanyaan tersebut menggugah saya untuk
mengetahui apa isi kepala Pak Markus “Tidak bisa lagi. Karena orang
buang sampah semua disini. Selain itu, kalau ada makanan maka banyak
kera yang turun sampai disini. Kera disini jahat. Kemarin mereka sempat
serang dua bule. Satu mati. Saya yang bawa ke rumah sakit tapi tidak
bisa ditolong. Jadi saya larang semua teman-teman jualan disini”.
“ Ah Bapa,
sungguh bagus sekali. Bapa bisa lihat ada sebab akibat yang bisa terjadi
kalau kita tidak benar-benar menjaga alam toh…” “Awalnya banyak
teman-teman tidak setuju, tapi saya bilang sama mereka semua kalau mau
tamu terus datang kemari maka kita harus jaga keamanan dan
kenyamanannya. Kalau tidak, tidak ada yang datang”. “Sekarang sampah su
kurang Nona karena kami setiap sore ambil itu sampah, bawa turun”. “Wahh
itu tambah luar biasa lagi Bapa. Bagus sekali. Tapi saya sarankan ke
Bapa dan semua pemandu disini untuk juga mengingatkan pengunjung agar
tidak buang sampah sembarangan. Karena semua yang datang kesini punya
tanggung jawab yang sama untuk menjaga kebersihan. Tidak hanya disini
tapi dimanapun mereka ada” “Ah Nona, saya tidak enak kalau harus kasih
tahu begitu. Nanti mereka marah”. ‘Tidak Bapa, mereka tidak marah.
Karena apa yang Bapa sampaikan itu benar. Dan Bapa adalah yang punya
tempat ini toh, jadi siapapun yang datang juga harus hargai itu”. Sambil
berbincang kami terus berjalan. Tak terasa dua ratusan tangga terlewati
dan kami sudah berada di tiang trianggulasi. Benar saja, tempat ini
makin bersih. Penjaja popmie dan kopi yang biasanya mangkal disini
sekarang tidak tampak sama sekali. Kera-kera yang biasanya banyak
berkeliaran dipuncak juga berkurang. Hanya terlihat satu saja pagi itu.
Pak Markus
masih berbincang dengan saya dalam perjalanan turun. Dari deratan
tikungan pohon cemara, serombongan turis lokal yang baru akan mendaki
berjalan dihadapan kami. Dan tiba-tiba “pluk” seorang dari mereka dengan
tanpa rasa bersalah membuang sampah plastik kecil makanan begitu saja.
Saya terhenyak. Saya yakin si sampah plastik itu juga terhneyak. Dia
tidak menyagka dirinya yang sudah terkoyak paksa demi mengambil makanan
didalamnnya semakin terpuruk dengan dibuang begitu saja. Sembarangan
ditengah hutan. Ingin rasanya saya berlari mengambil plastik tersebut
dan menjejalnya ke wajah si pembuang sampah itu. Sementara disebalah
saya, Pak Markus masih belum melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang
diharamkan. (Mungkin) Baginya itu memang tradisi (tradisi bodoh
tentunya) banyak orang di negeri ini, terutama orang kota. Huh.
Oke
tenang... tenang… Tarik nafas dalam-dalam. Saya berusaha menenangkan
diri. Beberapa langkah lagi kami akan berhadapan dengan rombongan
tersebut. Dan 1…2..3… Yup! sekarang kami berhadapan. “Selamat pagi
bapak-ibu...” sapa saya dengan senyuman manis dibibir “Selamat pagi…”
jawab ramah sekitar 6 orang pengunjung dari tanah Jawa tersebut. “Bapak
Ibu sebagaimana diketahui saat ini kita berada dikawasan Taman Nasional
Kelimutu. Sebuah kawasan konservasi yang perlu dijaga dan dilindungi.
Saya juga pengunjung disini. Dan ini Pak Markus pemandu disini. Sekedar
mengingatkan bahwa supaya kawasan ini tetap terjaga, kita hanya perlu
melakukan tindakan kecil : tidak membuang sampah sembarangan *tetap
tersenyum*. Kalau Bapak Ibu mau buang sampah dan kebetulan... tidak ada
tempat sampah disekitar Bapak Ibu, silahkan sampahnya dikantongi dulu
*tarik nafas. tersenyum lagi*. Nanti begitu ketemu tempat sampah bisa
dibuang ditempat sampah” Tetap tersenyum. “Oiya mbak… terima kasih ya”.
"Terimakasih mbak, terimakasih. Okee.." Riuh rendah semua menjawab.
Seorang dari antara mereka yang tadi membuang sampah tampak tersenyum
kikuk menengok ke belakang ke arah sampah yang dibuangnya beberapa meter
dibelakangnya “Nggak apa-apa mbak, biar nanti sampahnya saya yang
ambil” Sapa saya (dengan tetap tersenyum) pada si Mbak pembuang sampah.
“Silahkan dilanjutkan perjalanannya, jangan lupa tidak membuang sampah
ini berlaku dimanapun ya Pak…Bu…” “Iya Mbak, terima kasih…” Sekali lagi
dijelang jam 8 pagi waktu Kelimutu saya mendapatkan koor terima kasih.
Senang rasanya....
Pak Markus
tersenyum pada saya. Saya pun tidak mau ketinggalan untuk membalas
senyumannya “Lihat Pak, mereka tidak marah toh… Menjaga lingkungan,
menjaga alam itu sudah kewajiban kita semua. Dan membuang sampah
hanyalah sebuah tindakan sederhana. Jadi jangan takut untuk terus
menghimbau siapapun yang kemari untuk tidak membuang sampah. Tempat ini
Bapa punya rumah toh? Tidak ada yang boleh kasih kotor. Begitu juga
kalau Bapa datang ke rumah orang, tidak boleh kasih kotor toh” “Iya
Nona, betul. Saya akan bilang ke semua teman-teman pemandu seperti itu”.
Ahh senang rasanya…
Seakan
semua semesta Kelimutu memeluk saya. Senang rasanya bisa melakukan
sebuah tindakan kecil dan menularkannya pada orang lain “Yang Pak Markus
lakukan sudah sangat luar biasa. Saya salut. Tetap menjaga alam ya
Pak”. Tidak terasa, kami sudah harus berpisah. Pak Markus menjabat saya
dengan mantap “Terimakasih Nona” ucapnya tulus. “Tidak Bapa, saya yang
terima kasih. Bapa-bapa semua sudah jaga ini tempat untuk kami".
Mobil yang
kami tumpangi pun melaju. Saya melambai meninggalkan Pak Markus. Tetap
ada senyum dibibirnya. Hati kecil berjanji untuk kembali lagi ke
Kelimutu, menyapa semua keindahan dan keramahan disana.
Komentar
Posting Komentar